Pada awalnya “Kelompok Cipayung” hanyalah istilah untuk menyebut satu Forum Komunikasi dan Kerjasama 5 (lima) organisasi massa (ormas) mahasiswa. Ormas-ormas mahasiswa itu adalah:
1. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
2.Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
3. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
4. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
5. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Akan tetapi, dalam perkembangannya keberadaannya terkesan melembaga, menjadi populer di masyarakat, itu tentu karena kiprah peran dan terutama pikiran-pikiran kritis yang dilahirkannya, kerap dianggap sebagai cerminan sikap politik mahasiswa Indonesia.
Eksistensi Kelompok Cipayung memang satu fenomena menarik dalam sejarah kerjasama antar ormas mahasiswa. Bukan saja karena bentuknya yang unik, karena menyatukan ormas-ormas yang memiliki berbagai perbedaan karakteristik, tapi juga usianya relatif panjang dibanding dengan wadah kerjasama ormas mahasiswa yang lain. Lahirnya kerjasama Kelompok Cipayung, sebenarnya bukan sesuatu yang direncanakan, dalam arti para pemimpin ormas-ormas mahasiswa itu berkumpul dan kemudian membentuk suatu kelompok yang dinamakan Kelompok Cipayung, melainkan secara alamiah melalui diskusi-diskusi informal dan komunikasi yang bersifat personal antar sesama pimpinan ormas mahasiswa.
Komunikasi untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman antara sesama pimpinan dan aktivis mahasiswa memang sesuatu yang lazim terjadi, apalagi bila sebelumnya sudah saling kenal satu sama lain. Hal ini juga terjadi diantara sesama pimpinan ormas Kelompok Cipayung, yang sebelumnya sudah sempat berhimpun dalam wadah perjuangan bersama, KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Terbentuknya KAMI di tahun 1966, juga secara revolusioner. Artinya, tidak direncanakan, tapi karena kebutuhan perjuangan saat itu. Ini terjadi karena, dua wadah berhimpun ormas mahasiswa yakni, PPMI (Perhimpunan Perserikatan-perserikatan Mahasiswa Indonesia) dan MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) dinyatakan bubar akibat dampak kemelut politik nasional di seputar peristiwa G.30.S/PKI di tahun 1965.
Akan tetapi, KAMI juga tidak bertahan lama, terutama ketika kekompakan mahasiswa mulai terganggu oleh masuknya berbagai kepentingan politik praktis dalam perjuangan mahasiswa. Besarnya peranan perjuangan mahasiswa (KAMI) dalam menumbangkan Orde Lama –dan melahirkan Orde Baru—memang menarik minat berbagai kekuatan politik untuk memanfaatkan mahasiswa. Hal ini yang melemahkan kekompakan mahasiswa, karena sebagian dari pimpinan dan aktivisnya kemudian terseret ke dalam perjuangan politik praktis, sementara sebagian lagi bertahan pada posisi peran sebagai kekuatan moral (morale forces).
Dengan masuknya beberapa orang pimpinan dan aktivis KAMI di MPR(S) dan DPR (GR), muncul pandangan bahwa aspirasi mahasiswa sudah bisa disalurkan melalui mereka yang duduk di parlemen, dan sudah saatnya mahasiswa back to campus untuk kembali belajar sebagaimana biasa. Akan tetapi, sebagian lagi berpendapat bahwa perjuangan mahasiswa harus tetap dilanjutkan. Sebab situasi dan kondisi nasional masih jauh dari keadaan yang diharapkan.
Implikasi dari keadaan ini, KAMI terus melemah dan pada tahun 1969 akhirnya bubar ketika beberapa ormas mahasiswa menyatakan keluar dari wadah perjuangan ini. Pun demikian, perjuangan mahasiswa masih tetap berlanjut. Mahaiswa tetap kritis, terhadap keadaan bangsa dan negara. Ini setidaknya tampak pada aksi-aksi “Mahasiswa Menggugat.” Gerakan Penghematan, Komite Anti Korupsi (KAK), protes terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indonesia Indah karena dianggap sebagai suatu pemborosan, dan sebagainya.
Menghadapi situasi seperti ini, pimpinan GMNI secara tegas menyatakan diri tetap berjuang pada jalur kemahasiswaan. Kalau pun, kemudian beberapa orang pimpinan pusat GMNI duduk di MPR(S) dan DPR(GR), itu bukan mewakili mahasiswa, melainkan mewakili Partai Nasional Indonesia (PNI).
Dengan bubarnya KAMI, maka ormas-ormas mahasiswa tentu tidak memiliki wadah perjuangan bersama yang melembaga. Namun, ketiadaan wadah resmi tidak jadi halangan bagi sesama pimpinan mahasiswa membina hubungan satu sama lain. Kontak-kontak komunikasi sesungguhnya terus berlanjut meski bersifat hubungan antar pribadi. Secara umum, situasi saat itu dirasakan mulai kurang kondusif bagi perjuangan mahasiswa. Tapi disisi lain, dorongan idealisme untuk tetap memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara, mendorong para pimpinan ormas untuk saling berkomunikasi, bertukar pikiran untuk membicarakan berbagai persoalan yang dihadapi bersama.
Pertemuan-pertemuan yang dilakukan umumnya bersifat informal, dan juga bukan di kantor sekretariat ormas tapi lebih sering di rumah salah seorang aktivis (Ismid ?) di kawasan Jalan Surabaya yang letaknya berdampingan dengan rumah Pangdam saat itu. Karena sifatnya informal dan antar personal, maka yang bertemu pun tidak langsung melibatkan lima organisasi, tapi bertahap. Awalnya, yang intens bertukar pikiran adalah dari HMI, GMNI dan PMKRI. Kemudian ikut GMKI. Sedangkan materi yang dibicarakan, adalah berbagai persoalan aktual yang terjadi pada saat itu dalam perspektif masa depan bangsa dan negara.
Dari pertemuan dan diskusi-diskusi ini, lahir keinginan untuk menyelenggarakan pertemuan formal, untuk merumuskan sikap bersama sekaligus untuk mengukuhkan kerjasama dimasa mendatang. Pertemuan dengan naungan thema “Indonesia yang kita cita-citakan” ini terlaksana pada tanggal 21 hingga 22 Januari 1972. di Cipayung Jawa Barat. Dari pertemuan inilah, lahir sebutan “Kelompok Cipayung” dan tanggal 22 Januari diperingati sebagai hari kelahirannya.
Pada pertemuan Cipayung I ini, para pimpinan empat ormas mahasiswa berhasil menyusun naskah “Kesepakatan Cipayung” yang tidak hanya menggambarkan profile Indonesia yang didambakan bersama, tapi juga bagaimana mewujudkan Indonesia yang dicita-citakan itu, dan apa peran generasi muda dalam pembangunan Indonesia itu. Dalam suasana yang khusyuk, diiringi lagu “Bagimu Negeri” naskah tersebut ditandatangani oleh para Ketua Umum ormas mahasiswa, Akbar Tanjung, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Soerjadi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Chris Siner Key Timu, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI, dan Binsar Sianipar, Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Lahirnya pernyataan sikap bersama –yang dikenal dengan Kesepakatan Cipayung I—ternyata menarik perhatian masyarakat luas. Selain itu, munculnya bentuk kerjasama yang terkesan unik karena meski hanya bersifat “Forum Komunikasi, ” namun merupakan gagasan orisinil mahasiswa, langsung mau pun tidak langsung menyebabkan konsep pewadahan tunggal bagi mahasiswa yang digagas penguasa, yakni PNMI (Persatuan Nasional Mahasiswa Indonesia), disambut dingin oleh mahasiswa.