Nusanews.co – Dalam rumah tangga, harta diberikan suami kepada istri agar dibelanjakan untuk keperluan sehari-hari, termasuk mencukupi kebutuhan anak-anak. Lain hal, jika seorang suami tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pencari nafkah.
Di kalangan mazhab Syafi’i, hukum mengambil harta suami untuk menopang kehidupan keluarga inti, diperbolehkan. Dengan catatan, suami urung segera memenuhi kewajibannya tersebut, apalagi jika didapati suami bersifat bakhil/pelit
Nafkah adalah memang hak istri , apabila suami tidak memberikan maka istri boleh mengambil haknya, jika :
1. Nafkah untuk kebutuhan pokok memang kurang.
2. Suami pelit padahal ada uang, bukan karena suami tidak mampu
3. Pengambilan sesuai kebutuhan setempat, beda daerah beda jumlah.
jika pengambilan melebihi kebutuhan , berarti istri sudah mengambil uang yg bukan haknya dan hukumnya HARAM.
عن عائشة قالت: جاءت هند إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقالت: يارسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح، لايعطيني ما يكفيني وولدي، إلا ما أخذت من ماله، وهو لايعلم، فقال: خذي مايكفيك وولدك بالمعروف.
Aisyah RA menceritakan bahwa Hindun pernah bertanya kepada Nabi SAW.
Hindun bertanya : ‘Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya Abu Sufyan suami yang pelit. Nafkah yang diberikannya kepadaku dan anakku tidak cukup sehingga aku terpaksa mengambil uang tanpa sepengetahuannya.
Rosulullah menjawab :
‘Ambil secukupnya untuk kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf
(HR Al-Bukhari nomor 5364)
Ibnu Hajar menjelaskan :
bahwa mengambil dengan cara yang ma’ruf, adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara ‘urf (menurut kebiasaan setempat).
(Fath Al-Bari IX /509)