Nusanews.co – Dalam Al-Quran, puasa diungkapkan melalui dua lafaz, “Shaum” dan “Shiyam”. Kedua lafaz tersebut sama-sama menunjukkan makna puasa dalam arti menahan (al-imsak).
Abu Hilal Al-Askari dalam kitab Al-Furuq Al-Lughawiyah menyatakan, bahwa setiap ibarat atau bentuk kata yang berbeda, pasti memiliki makna yang juga berbeda.
Lalu apa perbedaan Shaum dan Shiyam dalam Al-Quran ?
Lafadz “Shaum” disebutkan satu kali, yaitu dalam surah Maryam ayat 26.
“Fa kuli wa syrabi wa qarri ‘aina, fa imma tarayinna min al-basyari ahadan fa quuli inni nadzartu li al-rahmani shauma, fa lan ukallima al-yauma insiyya .”
Dalam ayat tersebut, para mufassir mengartikan shaum dengan al-shamt yang bermakna diam; tidak berkata dan menahan diri dari berkata. Hal tersebut dipertegas dengan kalimat setelahnya, “fa lan ukallima al-yauma insiyya,” (Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun hari ini.)
Sedangkan lafaz Shiyam dalam Al-Quran disebutkan sembilan kali yang terdapat di dalam tujuh ayat. Yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 183, 187 dan 196, surah Al-Nisa ayat 92, surah Al-Maidah 89 dan 95, dan surah Al-Mujadalah ayat 4.
Baca Juga | Menjadi Hamba Allah Yang Ahli Sholawat Kepada Baginda Nabi Muhammad SAW
Seluruh kata Shiyam dalam ketujuh ayat tersebut bermakna puasa lebih spesifik secara fikih yaitu menahan segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, dari terbitnya fajar pada waktu Subuh yang disertai niat hingga terbenamnya matahari pada waktu Maghrib.
Sedangkan “Shaum” lebih umum, yaitu menahan diri dari segala perbuatan atau perkataan, baik karena berpuasa -sebagaimana dalam konteks fikih- atau tidak.
Tidak hanya dalam hal – hal yang membatalkan puasa secara fikih saja, namun juga menahan dari berbagai amalan dan ucapan lainnya yang tidak ada kaitannya dengan syariat puasa, meskipun itu tidak termasuk ibadah.
Shaum atau Shiyam, keduanya sama-sama terbentuk dari lafaz “Shaama-Yashuumu” yang bermakna menahan sesuatu, baik perkataan atau perbuatan. Dalam tataran Ilmu Shorf, keduanya merupakan bentuk Masdar. namun, untuk lafaz Shiyam mengikuti wazan Fi’al yang menurut sebagian ulama mengandung makna Mufa’alah, Musyarakah, Muqawamah dan Mujahadah dan makna-makna lain yang terkandung dalam wazan Mufa’alah.
Makna Mufa’alah yang terkandung dalam wazan Fi’al terdapat aspek adanya sebuah upaya atau usaha dalam beribadah secara syariat, yang mana kandungan makna ini tidak terdapat dalam lafaz Shaum.
(Dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibnu al-Mandzur, “shaum” artinya “tark al-tha’am wa al-syarrab wa al-nikah wa al-kalam” atau “tak makan, minum, berhubungan intim, dan berkata -kata.”)
Baca Juga | Dua Nama Tokoh Al Washliyah Resmi Dijadikan Nama Jalan, IPA Kota Medan “Terimakasih Pak Wali Bobby Nasution”
Sedangkan “shiyam” di ketujuh ayat di atas Merujuk pada arti spesifik, yaitu arti secara fikih: “imsak ‘an al-‘akl wa al-syurb wa al-jima’ min thulu’ al-fajr ila ghurub al-syams ma’a al-niyyah.” Tak makan, tak minum, dan tak berhubungan intim sejak fajar terbit hingga matahari terbenam.
Kesimpulannya, perbedaan “shaum” dengan “shiyam” adalah hal yang umum dan khusus. “Shaum” lebih umum daripada “shiyam”. Jika “shiyam” hanya digunakan untuk arti berpuasa secara fikih yaitu “menahan diri dari makan-minum-seks”, “shaum” digunakan untuk semua yang dimaksud dalam arti “menahan diri”. Puasa Ramadhan atau puasa Senin-Kamis bisa disebut “shiyam”, juga bisa disebut “shaum”.
Dalam hadis-hadis, Nabi menggunakan kata “shaum” dan juga “shiyam” untuk sama-sama arti puasa secara fikih. La shauma fauqa shaumi dawuda ‘alaihissalam shathr al-dahr. Shum yauman wa afthir yauman (HR. Al-Bukhari). Tidak ada puasa yang melebihi keutamaan puasa Nabi Dawud ‘alaihissalam, yaitu berpuasa dalam setengah tahun. Satu hari berpuasa, satu hari tidak berpuasa (selang-seling). Ahabbu al-shalati ilallah shalatu dawuda ‘alaihi salam. Wa ahabbu al-shiyami shiyamu dawuda (HR. Al-Bukhari). Shalat yang paling disukai Allah adalah shalat Nabi Dawud. dan puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Nabi Dawud.
“Shiyam” adalah bagian dari arti “shaum”. Sementara itu, “shaum” tidak pasti berarti “shiyam”. Menahan diri dari angkara murka, menahan diri dari mengungkapkan rasa cinta, menahan diri dari mencaci sesama. semua itu disebut “shaum” dan tidak bisa disebut “shiyam”. Barangkali dari sini kita tahu hikmah kenapa dalam niat puasa yang digunakan adalah diksi “shaum”, bukan “shiyam”: Nawaitu shauma ghadin ‘an adai fardhi syahri ramadhani hadzihis sanati lillahi ta’ala. Begitu pula dalam hadist Qudsi Allah Swt. Berfirman As-Shaumu li wa Ana ajzi bihi (As-shaum hanya untukku dan Aku yang akan membalasnya)
Dari sini kita tahu berpuasa tak hanya secara fikih, tak hanya menahan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa secara fikih, tapi juga berpuasa dari segala hal dan sifat buruk. Menahan diri dari makan-minum-seks hanyalah bagian kecil dari shaum yang kita niatkan dalam setiap berpuasa. Dari sini kita juga tahu hikmah lain: kenapa yang diwajibkan oleh Allah adalah shiyam, bukan shaum (ya ayyuhalladzina amanu kutiba ‘alaikum al-shiyam), yaitu karena shaum lebih berat daripada shiyam. Jika shiyam diwajibkan hanya pada siang hari Ramadhan, shaum diwajibkan pada setiap saat di sepanjang hayat. Proses ataupun ketentuan dalam perintah puasa disebut dalam Al-Qur’an dengan kata Shiyam sebanyak 9 kali dalam 7 ayat sedangkan Shaum hanya 1 kali ini berarti bahwa Shaum adalah pencapaian (nilai) dari Shiyam.
Dari penjelasan di atas, dapat disadari bahwa Al-Qur’an sangat detail dalam menghadirkan kata-kata dan ibarat-ibarat yang tersusun di dalamnya. Perbedaan bentuk kata meskipun berasal dari rumpun yang sama, dapat mengandung makna yang juga berbeda. Di sinilah letak ke-komprehensif-an al-Qur’an. Dihadirkan dalam bentuk yang singkat, namun memiliki makna yang berbeda-beda. Sepintas memiliki makna yang sama, namun ternyata tersirat makna yang beragam di dalamnya. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu berupaya menggali makna dan pesan-pesan yang tersirat dalam Al-Qur’an.
Sumber : PAM